Lama Waktu Maksimal Kehamilan Dalam Pandangan Islam
Sebelumnya mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa hal ini dibahas oleh agama Islam? Bukankah ini urusannya ilmu kedokteran? Maka jawabannya adalah, Jika ulama Islam menaruh perhatian terhadap suatu hal, maka pasti ada kepentingan syariat mengenai hukum suatu hal dalam perkara tersebut. Oleh karena itu –misalnya- para ulama tidak perlu pusing-pusing merajihkan pendapat apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir 2 atau 8 atau 9 atau 10 atau 12 atau 17 Rabi’ul Awwal. Karena memang belum pasti. Karena tidak ada dalil untuk merayakan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hari raya Islam. Dan tidak pernah dilakukan oleh sahabat ataupun imam mazhab yang empat. Bahkan hal ini bisa meniru/ tasyabbuh dengan orang Nashrani yang merayakan kelahiran Yesus dan penyembah matahari yang merayakan hari lahirnya dewa matahari.
Yang perlu diketahui bahwa pendapat tanggal kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengklaim bahwa disepakati yaitu 12 Rabi’ul Awwal. Karena ada kepentingan syariat di sana, yaitu sejak tanggal tersebut terputuslah wahyu. Jadi perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah ingin merayakan kelahiran atau kematian?
Kepentingan syariat membahas lama waktu maksimal kelahiran
Yaitu kepentingan dalam urusan warisan, yang warisan ini diatur dalam agama Islam, bahkan salah satu hukum yang paling banyak dibahas ayat di Al-Quran, karena masalah ini masalah yang cukup besar yang bisa membuat saudara saling bermusuhan, bahkan paman dan anak saling membunuh.
Lama waktu kelahiran untuk menentukan apakah anak yang dikandung oleh seorang wanita adalah anak dari bapaknya yang meninggal. Sehingga sang anak berhak mendapat wanisan. Sebagai contoh jika maksimal lama waktu kelahiran adalah satu tahun, maka jika seorang anak yang lahir lebih dari satu tahun setelah meninggalnya suami wanita yang hami tersebut (misalnya 1,5 tahun) maka anak tersebut bisa dipastikan bukan anak suaminya yang meninggal.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah berkata,
أن تلده بعد مضي زمن أكثر مدة الحمل من موت المورث ; ففي هذه الحالة لا يرث , لأن ولادته بعد هذه المدة تدل على حدوثه بعد موت المورث .
“Jika seorang wanita melahirkan lebih dari lama waktu maksimal kehamilan semenjak kematian pemberi warisan (misalnya bapaknya), maka dalam keadaan ini (janin) tersebut tidak mendapat warisan, karena kelahiran yang melebihi waktu maksimal menunjukkan kejadian (hamilnya) setelah meninggalnya pemberi warisan.”[1]
Ikhtilaf ulama dalam hal ini
Syaikh Muhammad Asy-Syinqity rahimahullah berkata,
أما أكثر أمد الحمل فلم يرد في تحديده شيء من كتاب ولا سنة، والعلماء مختلفون فيه، وكلهم يقول بحسب ما ظهر له من أحوال النساء.فذهب الإمام أحمد، والشافعي إلى أن أقصى أمد الحمل: أربع سنين، وهو إحدى الروايتين المشهورتين عن مالك، والرواية المشهورة الأخرى عن مالك: خمس سنين، وذهب الإمام أبو حنيفة إلى أن أقصاه: سنتان، وهو رواية عن أحمد، وهو مذهب الثوري، وبه قالت عائشة رضي الله عنها، وعن الليث: ثلاث سنين، وعن الزهري: ست، وسبع، وعن محمد بن الحكم: سنة لا أكثر، وعن داود: تسعة أشهر
“Adapun lama waktu maksimal kehamilan maka tidak ada batasannya dalam Al-Quran dan Sunnah, ulama juga berselisih dalam hal ini, masing-masing berpendapat sesuai dengan apa yang nampak bagi mereka pada keadaaan wanita (di zaman mereka).
Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berpendapat waktu terlama adalah empat tahun dan salah satu riwayat pendapat yang masyhur dari Imam Malik, sedangkan riwayat masyhur yang lain adalah lima tahun. Imam Abu Hanifah berpendapat dua tahun, ini riwayat dari Ahmad, madzhabnya Ats-Tasuri dan perkataan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Pendapat Laits tiga tahun, pendapat Az-Zuhri enam tahun dan tujuh tahun dan pendapat Muhammad bin Al-Hakim satu tahun tidak lebih dan pendapat Dawud yaitu sembilan bulan.”[2]
Ada juga yang berpendapat tidak mungkin lebih dari sembilan bulan berdasarkan ayat Al-Quran yaitu Ibnu Hazm rahimahullah, beliau berkata,
ولا يجوز أن يكون حمل أكثر من تسعة أشهر ولا أقل من ستة أشهر؛ لقول الله تعالى: {وحمله وفصاله ثلاثون شهرا} [الأحقاف: 15] . وقال تعالى: {والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة} [البقرة: 233] فمن ادعى أن حملا وفصالا يكون في أكثر من ثلاثين شهرا: فقد قال الباطل والمحال، ورد كلام الله عز وجل جهارا
“Tidak mungkin kehamilan itu lebih dari sembilan bulan dan tidak mungkin pula kurang dari enam bulan karena Allah Ta’ala berfirman,
“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”. [Al-Ahqaf: 15]
Dan Firman Allah,
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” [Al-Baqarah: 233]
Maka barangsiapa yang mengklaim hamil dan menyusui lebih dari 30 bulan maka telah berkata dengan perkataan yang batil dan mustahil dan menolak firman Allah ‘Azza wa Jalla dengan terang-terangan.”[3]
Bahkan Ibnu Hazm mengomentari kisah-kisah orang yang dalam kehamilannya lebih dari sembilan bulan, semisal kisah Imam Malik yang berada dalam kandungan ibunya selama dua tahun. Beliau mendustakan kisah-kisah seperti ini, beliau berkata,
وكلُّ هذه أخبارٌ مكذوبةٌ راجعةٌ إلى مَنْ لا يَصْدق ولا يُعرف من هو ، ولا يجوز الحكم في دين الله تعالى بمثل هذا
“Semua berita ini dusta dan bersumber dari orang yang tidak bisa dipercaya dan tidak dikenal siapakan dia. Tidak boleh berhukum dalam agama Allah dengan semisal ini.”[4]
Akan tetapi ada juga ulama yang berpendapat, kehamilan bisa lebih dari sembilan bulan. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,
ألَّا يمكث حمل في بطن امرأة أكثر من تسعة أشهر؟! أيعجزه سبحانه وتعالى أن يجعل الحمل يمكث في بطن أمه مدَّة أطول من المعتاد؟! كلَّا والله
“Apakah tidak mungkin kehamilan lebih dari sembilan bulan? Apakah Allah tidak mampu menjadikan (janin) berada dalam perut ibunya lebih dari waktu biasanya? Sekali-kali tidak (bisa lebih dari sembalian bulan, pent).”[5]
Pendapat terkuat
Pendapat terkuat adalah masalah ini kembali kepada adat dan kebiasaan wanita saat ini dan di tempat itu. Karena jika sesuatu tidak ditetapkan dalam syariat (Al-Quran dan sunnah) maka kembali kepada adat dan kebiasaan sebagaimana kaidah,
العادة مجكمة
“Adat/kebiasaan dapat dijadikan (patokan dasar ) hukum”
Dan salah satu cabang kaidah ini,
استعمال الناس حخة يجب العمل بها
“Yang sering digunakan oleh manusia adalah hujjah wajib beramal dengannya”
Syaikh Doktor Muhammad Al-Burnu Hafizahullah menjelaskan makna kaidah ini, “Bahwasanya adat/kebiasaan manusia jika tidak menyelisihi syari’at adalah hujjah dan dalil, wajib beramal dengan konsekuensinya karena adat dapat dijadikan hukum”.[6]
Ibnu Rusyd rahimahullah berkata,
وهذه المسألة مرجوع فيها إلى العادة والتجربة. ويقول ابن عبد الحكم والظاهرية هو أقرب إلى المعتاد، والحكم إنما يجب أن يكون بالمعتاد لا بالنادر، ولعله أن يكون مستحيلا.
“Masalah ini kembali kepada adat/kebiasaan dan pengalaman, ini pendapat Ibnu Abdil Hakam dan Adz-Dzahitiyah, dan lebih dekat kepada apa yang menjadi kebiasaan. Dan hukumnya wajib berdasarkan apa yang menjadi kebiasaan bukan yang jarang-jarang terjadi, karena hal itu bisa menjadi mustahil.”[7]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata,
وهذه مسألة لا أصل لها إلا الاجتهاد والرد إلى ما عرف من أمر النساء وبالله التوفيق
“Masalah ini tidak ada dasarnya kecuali Ijtihad dan dikembalikan kepada apa yang sudah menjadi kebiasan para wanita.”[8]
Pendapat Ilmu kedokteran modern
Janin disebut cukup bulan (aterm) jika usia kehamilannya mencapai 37 minggu lengkap (atau genap 38 minggu). Dan disebut “postmatur/ postterm” jika lebih dari 42 minggu. Maka terkadang kehamilan bisa lebih dari sembilan bulan namun hanya lebih beberapa minggu saja, tidak sampai angka bulanan. Jika lebih, maka umumnya akan membahayakan janin dan ibunya.
Dokter Makmun berkata,
أما الأطباء فيرون أن الحمل لا يتأخر عن الموعد المعتاد إلا فترة وجيزة لا تزيد عن أسبوعين أو ثلاثة غالباً … فإذا تأخَّرت عن الأسبوع 42 نقصت وأصبح الجنين في خطر حقيقي )
“Para dokter berpendapat bahwa kehamilan tidak akan lebih dari waktu kelahiran yang biasa (sembilan bulan) kecuali waktu yang sebentar saja, 2 atau 3 minggu pada umumnya…jika lebih dari 42 minggu maka akan berkurang (tidka sempurna) dan janin berada dalam keadaan bahaya.”[9]
Demikian semoga bermanfaat
@perpus FK UGM, 22 Rabi’us Tsani 1434 H
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
[1] Mulakhkhas Fiqhiyyah juz Tsani bab Al-Fara’idh, maktabah salafiyah, Islamspirit.com
[2] Adhwa’ul Bayan 2/227, Darul Fikr, Libanon, 1415 H, syamilah
[3] Al-Muhalla 10/131-132, Darul Fikr, Beirut, syamilah
[4] Al-Muhalla 10/133, Darul Fikr, Beirut, syamilah
[5] Tuhfatul maudud biahkamil maulud 3/217
[6] Al-Wajiz fi idhohi qowa’idi fiqhil kulliyah hal 292, cetakan kelima, Muassasah Risalah
[7] Bidayatul Mujtahid 4/142, Darul Hadits, Koiro, 1425 H, syamilah
[8] Al-Istidzkar 7/170, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1415 H, syamilah
[9] Al-Firarul Makin, dikutip dari artikel “Athwalu muddatin lilhamli”, sumber: http://www.saaid.net/Doat/ehsan/148.htm
Artikel asli: https://muslimafiyah.com/lama-waktu-maksimal-kehamilan-dalam-pandangan-islam.html